KWSEHATAN MENTAL YANG PRIMA

KESEHATAN MENTAL YANG PRIMA

Makalah Dibuat Sebagai Tugas dan Bahan Presentase Kelas pada Mata kuliah

PSIKOLOGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN KESEHATAN MENTAL










 


















DOSEN PEGAMPU
Dr.  HERY NOER  ALY, MA



NAMA PENYUSUN:
AHMAD MUNHAMER, S.Pd.I



PROGRAM PASCA SARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
TAHUN AKADEMIK 2013-2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.             Latar Belakang
Kesehatan mental sebagai ilmu merupakan salah satu cabang termuda dari ilmu jiwa yang tumbuh pada akhir abad ke-13, namun demikian dalam ajaran agama yang diwahyukan oleh Allah telah terlebih dahulu membahas tentang hakikat jiwa, penyakit jiwa dan kesehatan jiwa yang telah disampaikan oleh para Rasul Allah. Ilmu kesehatan mental merupakan ilmu kesehatan jiwa yang membahas kehidupan rohani yang sehat, dengan memandang pribadi manusia suatu totalitas psikofisik yang kompleks. Sesuai dengan kemajuan, ilmu pengetahuan, pengertian terhadap kesehatan mental juga mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian tentang kesehatan mental bersifat terbatas, dan sempit, terbatas pada gangguan dan penyakit jiwa. Dengan pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap perlu bagi orang yang mengalami gangguan jiwa saja. Padahal kesehatan mental tersebut diperlukan bagi setiap orang yang menginginkan ketentraman dan kebahagiaan.
Pada umumnya, orang membicarakan tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental dalam bahasannya masing-masing. Belum banyak ditemukan sebuah uraian yang mencoba mencari titik temu atau titik singgung antara ketiga kajian tersebut. Oleh karena itu, uraian ini ditulis dengan harapan menjadi acuan perihal itu. Perlu disadari, sekalipun berbeda obyek kajian, tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental, ketiganya berurusan dengan soal yang sama, yakni soal jiwa. Secara sederhana ketiga kajian itu dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.    Tasawuf berurusan dengan soal penyucian jiwa dengan tujuan agar lebih dekat dihadirat Tuhannya.
2.    Psikologi Agama berurusan dengan soal pengaruh ajaran agama terhadap perilaku kejiwaan para pemeluknya.sementara
3.    Kesehatan Mental berurusan dengan soal terhindarnya jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan, kemampuan adaptasi kejiwaan, kemampuan pengendalian diri, dan terciptanya integritas kejiwaan seseorang.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Kesehatan Mental
Pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya. [1]
Zakiah Daradjat secara lengkap mendefinisikan kesehatan mental dengan ”terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan”.
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.[2]
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Noto Soedirdjo, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah Memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap Stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.


B.             Dimensi Psikologis Kesehatan Mental
Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis, sebagai sub sistem dari eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan untuk melihat sis jiwa manusia.[3]
Ada beberapa aspek psikis yang turut berpengaruh terhadap kesehatan mental, antara lain :
1. Pengalaman awal
Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman yang terjadi pada individu terutama yang terjadi di masa lalunya. Pengalaman awal ini adalah merupakan bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.
2. Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi yaitu orang yang mengeksploitasi dan segenap kemampuan bakat, ketrampilannya sepenuhnya, akan mencapai tingkatan apa yang disebut dengan tingkatan pengalaman puncak. Dalam berbagai penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental, disebabkan oleh ketidakmampuan individu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah kebutuhan dasar yang tersusun secara hirarki.[4] Kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, meliputi kebutuhan dicintai, kebutuhan harga diri, pengetahuan, keindahan dan kebutuhan aktualisasi diri.
C.             Tanda-tanda Kesehatan Mental yang Prima
Menurut Dr. Kartini Kartrono mengtakan bahwa orang yang sehat mentalnya memiliki sifat-sifat khusus, antara lain mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki hidup yang jelas, memiliki konsep hidup yang sehat, dan memiliki batin yang selalu tenang.[5].
Sedangkan Menurut  Muhammad  Mahmud terdapat 9 macam, yaitu:
Pertama, kemapanan, ketenangan, dan rileks.
Kata “sakinah” memiliki arti kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal atau wilayah yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Ketenangan di dalam istilah sakinah tidak berarti statis atau tidak bergerak, sebab dalam “sakinah” terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang, seperti orang yang melakukan kerja dengan disertai rasa tenang. Sedangkan rileks merupakan akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan batin yang santai, tenang, dan tanpa adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang amat berat. Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa karena maksiat, maka elemen-elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk komposisi tubuh yang gambang terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan.
Kondisi mental yang tenang dan tentram dapat digambarkan dalam tiga bentuk[6], yaitu:
1.      adanya kemampuan individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman. Misalnya jika ia terkena musibah maka musibah itu diserahkan dan dikembalikan kepada Allah (QS. Al-Baqarah : 156);
tûïÏ%©!$# !#sŒÎ) Nßg÷Fu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB (#þqä9$s% $¯RÎ) ¬! !$¯RÎ)ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÊÎÏÈ  
Artinya : (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"(QS. Al-Baqarah : 156)
2.      kemampuan individu dalam bersabar mengahadapi persoalan-persoalan hidup yang berat, misalnya cobaan akan ketakutan dan kemiskinan (QS. Al-baqarah : 155)
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsƒø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ̍Ïe±o0ur šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÎÈ  
Artinya: dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
3.      Kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan dating kemudahan (QS. Al-insyirah: 4-5).
$uZ÷èsùuur y7s9 x8tø.ÏŒ ÇÍÈ   ¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç ÇÎÈ  
Artinya :dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Kedua, memadahi dalam beraktivitas.
Seseorang yang mengenal potensi, keterampilan dan kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. Firman Allah SWT :
(#qè=à2ù'uÏ9 `ÏB ¾Ín̍yJrO $tBur çm÷Gn=ÏJtã öNÍgƒÏ÷ƒr& ( Ÿxsùr& tbrãà6ô±o ÇÌÎÈ  
Artinya : “Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS.Yasin: 35).
Sabda Nabi SAW : “Makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang adalah makanan yang berasal dari jerih payahnya sendiri, sebab Nabi Dawud makan dari hasil kerjanya sendiri.” (HR.Al-Bukhari)
Ketiga, menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain.
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi, maupun kemampuannya, karena keadaan itu merupakan anugrah dari Allah SWT. Anugrah Tuhan yang diberikan kepada manusia terdapat dua jenis, yaitu: (1) bersifat alami. Manusia yang sehat akan mensyukuri anugrah itu tanpa mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan seperti itu, sebab di balik penciptaan-Nya pasti terdapat hikmah yang tersembunyi; (2) dapat diusahakan. Manusia yang sehat tentunya akan mengerahkan segala daya upayanya secara optimal agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Tanda kesehata mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain.
Keempat, adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri.
Artinya, kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan yang hina dapat menyebabkan psikopatologi, sedang perbuatan yang baik menyebabkan pemeliharaan kesehatan mental.
Kelima, kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama.
Keenam, memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat.
Ketujuh, kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi.
Kedelapan, memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik.
Kesembilan, adanya rasa kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh.[7]
D.    Hubungan antara Kesehatan Mental dengan Kondisi Psikis Manusia
Pada abad 17 kondisi suatu pasien yang sakit hanya diidentifikasi dengan medis, namun pada perkembangannya pada abad 19 para ahli kedokteran menyadari bahwa adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal balik ini menyebabkan manusia menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Psikomatik).
Memasuki abad 19 konsep kesehatan mental mulai berkembang dengan pesatnya namun apabila ditinjau lebih mendalam teori-teori yang berkembang tentang kesehatan mental masih bersifat sekuler, pusat perhatian dan kajian dari kesehatan mental tersebut adalah kehidupan di dunia, pribadi yang sehat dalam menghadapi masalah dan menjalani kehidupan hanya berorientasi pada konsep sekarang ini dan disini, tanpa memikirkan adanya hubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Jauh berbeda dengan konsep kesehatan berlandaskan agama yang memiliki konsep jangka panjang dan tidak hanya berorientasi pada masa kini sekarang serta disini, agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia,   terhadap kesehatan.Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
E.  Hubungan Kesehatan Mental dengan Pendidikan Agama
a.  Agama dan Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam (QS Ar Ruum 30:30)
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS Ar Ruum 30)
manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
b. Agama sebagai Terapi Kesehatan Mental. [8]
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl 16:97)
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ  
Artinya : “ Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. (QS An Nahl 16:97)
Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman (QS Ar Ra’ad 13:28) Artinya : “ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan menginga Allah-lah hati menjadi tenteram “.
Dalam Islam, Ada tiga pola yang dikembangkan untuk mengungkap metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental: Pertama, metode tahalli, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, islam, dan ihsan. Di sini, kita lebih cenderung memilih pola yang ketiga.[9]
1.  Metode Imaniah
Iman secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi problem hidup. Dengan iman, seseorang memiliki tempat bergantung, tempat mengadu, dan tempat memohon apabila ia ditimpa problema atau kesulitan hidup, baik yang berkaitan dengan perilaku fisik maupun psikis. Ketika seseorang telah mengerahkan daya upayanya secara maksimal untuk mencapai satu tujuan, namun tetap mengalami kegagalan, tidak berarti kemudian ia putus asa atau malah bunuh diri.
Keimanan akan mengarahkan seseorang untuk mengoreksi diri apakah usahanya sudah maksimal atau belum. Sejalan dengan hukum-hukum-Nya atau tidak. Jika sesuai dengan hukum-hukum-Nya, tetapi masih menemu ikegagalan, hal yang perlu diperhatikan adalahhikmah dibalik kegagalan tersebut. Apakah Allah SWT menguji kualitas keimanannya melalui kegagalan ataukah Dia mengasihi hamba-Nya yang salih supaya ia tidak sombong atau angkuh ketika memperoleh kesuksesan.
2.   Metode Islamiah
Islam secara etimologi memiliki tiga makna, yaitu penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah).
Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim (syakhshiyah al-muslim) yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan diri dalam setiap kondisi. Kondisi seperti itu merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim menimbulkan lima karakter ideal yaitu:
1.      karakter syahadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari segala belenggu dan dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif, seperti materi dan hawa nafsu. 
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? “ (Q.S. Al-Furqon: 43).
2.      karakter mushalli, yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah (ilahi) dan dengan sesama manusia (insani). Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir, sedang komunikasi insaniah ditandai dengan salam. Karakter mushalli juga menghendaki kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir diwujudkan dalam wudhu (Q.S. Al-Maidah:6), sedang kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyukan (Q.S. al-Mukminun: 1-2).
3.       karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya (Q.S. At-Taubah: 103). Karakter Muzakki menghendaki adanya pencarian harta secara halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Ia menuntut adanya produktifitas dan kreativitas.
4.       karakter sha’im, yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan nafsu-nafsu rendah dan liar. Di antara karakter sha’im  adalah menahan makan, minum, hubungan seksual pada waktu, dan tempat dilarang.
5.      karakter hajji, yaitu karakter yang mau mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT. Karakter ini menghasilkan jiwa yang egaliter, memiliki wawasan inklusif dan pluralistik, melawan kebatilan, serta meningkatkan wawasan wisata spiritual.
3. Metode Ihsaniah
Ihsan secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (muhsin) adalah orang yang mengetahui akan hal-hal baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik, dan dilakukan dengan niatan baik pula. Metode ini apabila dilakukan dengan benar akan membentuk kepribadian muhsin (syakhshiyah al-muhsin) yang dapat ditempuh melalui beberapa tahapan.
1.      tahapan permulaan (al-bidayah). Tahapan ini disebut juga tahapan takhalli. Takhalli adalah mengosongkan diri dari segala sifat-sifat kotor , tercela, dan maksiat.
2.      tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadat). Pada tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat, kemudian ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik. Tahapan ini disebut juga tahalli . 
3.      tahapan merasakan (al-muziqat). Pada tahapan ini, seorang hamba tidak sekadar menjalankan perintah Khaliknya dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan, dengan-Nya. Tahapan ini disebut Tajalli. Tajalli adalah menampakkannya sifat-sifat Allah SWT pada diri manusia setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir yang menghalangi menjadi sirna.
Kecerdasan qalbiyah merupakan akibat dari kesehatan mental seseorang yang tidak sekedar hadir begitu saja, namun memerlukan proses dinamika seiring dengan perjalanan hidup seseorang itu sendiri. Dalam kecerdasan qalbiyah ditekankan pemanfaatan potensi manusia secara integral dalam hubungannya dengan pengembangan kepribadian.

KESIMPULAN
Kesehatan mental merupakan faktor terpenting untuk menjalankan kehidupan manusia secara normal. Psikis manusia jika tidak dijaga akan menimbulkan suatu gangguan jiwa yang lambat laun dibiarkan akan menjadi suatu beban yang berat bagi penderitanya. Di antara gangguan psikis meliputi psikosomatik, kelainan kepribadian, retardasi mental, rasionalisasi, neurosis, dan psikosis, yang dari gangguan jiwa itu disebabkan karena ada faktor yang mempengaruhinya meliputi pengalaman awal, proses pembelajaran, dan kebutuhan. Dengan adanya gangguan jiwa karena pengaruh tersebut dibutuhkan terapi penyembuhan sampai manusia dinyatakan benar-benar sehat baik jasmani maupun psikisnya.













































BAB III
DAFTAR PUSTAKA


Isna , Mansur.  Diskursus Pendidikan Islam, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, cet.ke-1
Jalaludin,  Jasa,   Psikologi Agama. 2007. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Moeljono Notosoedirjo, Latipun, Kesehatan Mental, Universitas Muhammadiyah Malang, 2000
Mujib, Abdul, Jusuf Mudzakir, M.Si Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jokyakarta: Penerbit Insani Madani, 2004
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, cet. ke-1
Wirawan Sarwono, Sarlito. Pengantar Umum Psikologi, PT. Bulan Bintang, Bandung, 1986, cet ke-7






[1] . Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, M.Si Nuansa-nuansa Psikologi Islam,( Jokyakarta: Penerbit Insani Madani, 2004) hlm 12
[2]. Moeljono Notosoedirjo, Latipun, Kesehatan Mental, (Universitas Muhammadiyah Malang, 2000), hal. 23

[3] . Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2004, cet. ke-1,) hal. 153
[4] . Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001, cet.ke-1) , hal. 160           
[5] .  Yusak Burhanuddin. Kesehatan Mental,( Bandung: Pustaka Setia, 1998),hlm.9
[6] . Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2004, cet. ke-1,) hal. 155

[7] . Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, M.Si Nuansa-nuansa Psikologi Islam,( Jokyakarta: Penerbit Insani Madani, 2004) hlm 34

[8] . Moeljono Notosoedirjo, Latipun, Kesehatan Mental, (Universitas Muhammadiyah Malang, 2000) hlm, 5

[9] . Jasa Jalaludin. Psikologi Agama  ( PT. Raja Grafindo Persada J akarta 2007.) hlm 32